
Ceritaku : Awal Tahun 2023; March in Love
Saat Harus Meninggalkan Apa Yang Disebut Dengan Ketergantungan
Adalah sebuah keputusan terbesar saat aku memutuskan untuk pergi dari kehidupan hingar-bingar kantorku di area jantung kota Surabaya; yang telah membesarkan namaku di dunia pertransportasian. Perusahaan besar (dan mungkin salah satu yang terbesar di negara asalnya, Taiwan). Salah satu perusahaan besar yang menerimaku bekerja ketika aku merasa hopeless dengan beberapa perusahaan yang telah aku masuki—bahkan beberapa diantaranya aku sudah bekerja untuk mereka meski tidak pernah sampai bertahun-tahun—namun, semuanya tidak ada yang cocok dengan kepribadian dan karakteristikku. Tapi, kala itu aku merasa terpanggil untuk harus sesegera mungkin memerhatikan dan menopang hidupku sendiri, karenanya aku merasa sangat bersyukur perusahaan tersebut mengajakku bergabung.
Awalnya aku takut jika aku tidak bisa bertahan. Sekitar awal tahun 2012 semuanya masih terlihat baik-baik saja. Bahkan teramat baik saat aku menemukan sebuah ‘ritme‘ kehidupan yang bisa sejalan dengan diriku. Ritme kehidupan yang kupikir akan membawaku pada sebuah perubahan perekonomian sampe yaa setidaknya beberapa tahun ke depan.
And, yes, I found it!
Ketika aku merasa bahwa ‘pekerjaan ini lah yang akan kujadikan ‘pelabuhan terakhir’ku dalam penjelajahan pekerjaan di kota ini sampai aku pensiun nanti’, nyatanya aku salah besar. Aku memang bukan seorang cenayang yang bisa melihat bahwa daur hidupku akan bertahan atau tidak di bidang pekerjaan yang seperti apa. Kendati demikian, aku masih tetap berlanjut pada apa yang kuyakini tepat selama tidak ada sesuatu pun yang menggangguku atau privacy orang lain. Namun, lagi-lagi aku salah. Ada satu dan lain hal yang cukup menggangguku (dan mungkin juga orang lain) dengan telepon-telepon teror yang seharusnya ditujukan untukku, namun ternyata orang lain pun juga terkena getahnya. Telepon-telepon teror dari bank yang menagih hutang padaku—karena suatu dan lain hal yang membuatku terpaksa harus berhutang pada rentenir seperti mereka. Dalam hal ini saja, aku sudah tidak nyaman, apalagi orang lain. Sejak ini, aku mulai berpikir bahwa aku harus segera pergi dari tempat ini; kantor ini.
Saat usia kependudukanku sudah menginjak tahun ke-8 dan hatiku telah tertambat pada sebuah ‘dermaga cinta’ yang menurutku bisa kujadikan pelabuhan terakhirku, lagi-lagi aku harus menelan sebuah kegagalan. Kegagalan untuk bisa memilkinya seutuhnya, karena sebuah aturan keluarganya yang rumit; yang membuatnya harus mengikuti aturan tersebut dengan sebuah pertunangan dadakan. Kegagalan lain dan kejaran teror ini yang sungguh membuatku tidak bisa fokus pada impian utamaku—meraih sebuah kesuksesan seperti yang aku impikan saat aku masih duduk di bangku sekolah. Sulit rasanya jika harus mengorbankan salah satunya. Hati ini serasa tidak ingin kehilangan dia; namun kau tidak punya pilihan lain yang lebih baik—selain meninggalkannya, demi menyelamatkan sebuah hubungan. Aku hanya tidak ingin jika harga diriku terinjak-injak dan seakan teraniaya di hadapan Dia-Yang-Terkasih.
Aku memang sudah ketergantungan dengan kehadirannya. Sudah terbiasa dengan keberadaannya di dekatku. Aku tidak bisa berpaling sedikit pun darinya. Tapi, di sisi lain, toh aku tetap tidak bisa melawan pertunangan itu. Aku bisa apa? Pada akhirnya, hanya aku yang akan tersiksa saat melihatnya menikah namun bukan denganku. Inilah yang akhirnya membulatkan tekadku untuk mengundurkan diri dan mengubur semua impianku untuk menjadi seseorang yang memiliki sedikit ‘power‘ dalam sebuah perusahaan. No! Aku tak lagi memikirkannya—meski impian itu masih ada. Aku akan mengejarnya nanti, di tempat lain—jika Tuhan mengijinkan.
Akhir Tahun 2022
Ini mungkin adalah satu puncak penderitaan di sebuah penghujung tahun yang seharusnya bagi sebagian orang adalah sebuah momen dimana saatnya mengatur resolusi tahunan. Haha!! Resolusi apaan!? Serasa aku tak memerlukan resolusi apapun, karena memang tak ada yang bisa diresolusikan dari daur hidup seorang aku yang hanya begini-begini saja.
Aku memutuskan untuk resign dari pekerjaanku sebelumnya—demi kesejahteraan hidupku ke depan; tapi mungkin lebih tepatnya demi keselamatan hatiku yang tengah rapuh ini. Pekerjaan yang sebenarnya adalah pekerjaan impianku, namun entah impian yang mana; yang kugadang-gadang bisa membuat hidupku jauh lebih baik malah membuatku semakin terpuruk. Tidak seperti apa yang kuharapkan, malah jauh dari apa yang disebut dengan ‘harapan’.
Namun, di satu sisi, masih ada satu hal yang bisa membuatku merasa bahwa ini bukanlah suatu akhir. Meninggalkan segala yang telah membuatku bertumbuh, ini bukanlah sebuah akhir dari apapun. Setidaknya, kala itu, malam saat ia mengantarku pulang setelah aku berpamitan pada seluruh karyawan di kantor untuk terakhir kalinya aku bekerja disana, ia masih sempat mengatakan sesuatu yang cukup membuatku terenyuh dan terharu setelah sekian lama ia membisu dalam keheningan hubungan kami.
Kalau kamu nggak ada, terus gimana?
—yours
Sekilas, aku bingung dengan pertanyaan itu. Seperti bukan ditanyakan padaku, tapi tatapan matanya seolah memintaku sebuah jawaban. Aku terdiam. Ia terus menatapku sembari sesekali menyesap secangkir kopi yang ada di hadapannya. Kurasa, apa yang ditanyakan itu adalah tentang bagaimana ia akan kehilangan sosokku setelah aku tak lagi berada satu kantor dengannya. Namun, aku tak begitu yakin, karena selama ini ia memang tidak pernah menganggapku ‘ada’. Sebaliknya, jika memang benar perkiraanku tadi, berarti memang ia menyayangiku—meski dengan cara yang aneh; dan, pertanyaan itu akan kujadikan trademark tersendiri dalam jajaran ingatan di kepalaku.
Mmm… maksudnya apa nih? Maksudnya, terus gimana… kalo nggak ada aku, gitu kah, Sayang?
—mine
Sejenak ia terdiam, kemudian mengangguk pelan. ‘Ya Allah… ini beneran?—ini beneran ia bertanya tentang bagaimana ia akan kehilangan sosokku?’ Sesuatu yang bahkan jarang sekali diutarakannya, terutama tentang perasaannya padaku—dan, malam itu adalah kali pertamanya aku merasa bahwa sosokku ternyata sungguh berarti baginya. Atau, entah karena ia hanya sedang kesepian atau sedang ada masalah dengan tunangannya, aku tidak peduli; yang jelas hubunganku dengannya baik-baik saja. Semoga.
Awal Tahun 2023

Januari di awal tahun 2023, aku mendapatkan pekerjaan baru yang jika menurut istilah manajer yang mewawancaraiku kala itu, ‘mbak kamu termasuk orang yang beruntung, karena hanya sehari setelah saya interview, kamu langsung diterima kerja‘. Yaa mungkin Bapak benar, saya termasuk yang Bapak maksud sebagai seseorang yang beruntung; yang mungkin saja karena kepandaianku atau terlebih ditambah juga dengan pengalaman kerja yang aku tenteng saat ini. Sebenarnya (aslinya) selepas aku menanggalkan namaku di dunia pertransportasian, aku hanya ingin bebisnis dan fokus mengurus keluarga, tapi mungkin aku tidak harus merealisasikan mimpiku untuk menjadi seorang pebisnis. Aku belum menemukan jalan yang tepat untuk kesana. Iseng, kala itu aku berinisiatif untuk ingin mengintip masa depanku pada seorang ahli tarot—yang jika menurut orang awam adalah paranormal atau si pembaca kehidupan. Kartu tarot sendiri adalah beberapa lembar kartu yang biasa digunakan untuk kepentingan spiritual atau ramalan nasib. Menurut si ahli tarot ini aku tidak cocok jika harus berbisnis, sehingga disarankan untuk tetap bekerja di sebuah perusahaan. Bukan sebuah kebetulan juga, aku memang telah berulangkali mencoba berbisnis kecil-kecilan dan hasilnya selalu tidak bagus—bahkan mungkin tidak sekali duakali aku menanggung kerugian yang lumayan besar. Kerugian yang disengaja—karena aku sengaja membeli produkku sendiri untuk menaikkan rating toko; atas usul beberapa teman, sih—ataupun yang tidak disengaja; karena perhitungan profit yang terlalu mepet dan biaya ongkos kirim yang semakin lama semakin mahal, dan kemungkinan aku-nya yang tidak notice tentang hal itu. Tapi, meski sudah ku-notice-pun, aku masih tetap mengalami kerugian.
Sesuatu Yang Diluar Dugaan
Dia memutuskan untuk meninggalkan kost dan pindah ke rumah barunya. Dia pun mengatakan bahwa dia belum ingin menikah, karena ada sesuatu dan lain hal yang masih harus dikerjakannya. Aku percaya. Dan, suatu ketika, saat aku berbincang dengannya, ia mengatakan bahwa lokasi perumahan tempatnya tinggal itu ternyata kupikir tidak jauh dari rumah orangtuaku. Terlintas sebuah pikiran bahwa mungkin saja aku bisa mengunjunginya kapan pun aku mau—mungkin hanya melintas saja tidak ada masalah, kan? Mungkin juga, jika diizinkan mampir, ya aku bakal mampir. Tapi, no lah, aku cukup sadar diri bahwa aku dan dia tidak ada ikatan apapun yang bisa memperkuat hubungan kami. Aku cukup sadar diri, bahwa hubungan aku dan dia hanya begini-begini saja.
Pada suatu malam—sekitar pukul 19:00 wib—saat aku merasa waktuku begitu banyak tersisa, aku pun menyempatkan diriku untuk mendatangi rumahnya. Bukan untuk mampir dan singgah, aku hanya ingin melintas sekaligus ingin tahu letak lokasinya saja. Segera saja kulajukan motorku menuju lokasi yang telah ditunjukkan pada peta di ponselku. Lokasi perumahan tempat tinggalnya sungguh suram, gelap, dan mencekam. Layaknya orang akan beruji nyali dan menuju ke sebuah lokasi rumah yang sepi penghuni dan hanya berlatarbelakang persawahan dan tambak ikan.
Seriously, ini jalanan ke rumah kamu, Sayang? God!! Serem banget?
—ujarku dalam hati
Kegelapan serta udara malam yang sungguh dingin mencekat seolah merasuk ke dalam tubuhku, membuat sekujur lengan dan kakiku membeku dan berubah warna menjadi putih pucat. Aku tidak sadar bahwa bibir bawahku pun bergetar karena udara dingin yang menusuk ini. Sekitar satu jam berlalu, aku masih saja berputar-putar di area perumahan yang sungguh gelap, minim cahaya lampu, dan tanah yang becek karena hujan itu. Aku masuk ke sebuah perumahan sesuai petunjuk di peta ponselku dan segera mencari blok rumahnya. Karena tak kunjung kutemukan alamat itu, aku pun meneleponnya. Saat dering kedua, ia mengangkat teleponku dan bertanya:
Sayang mau kesini tah?
—tanyanya di seberang telepon
Lalu, aku pun menjawab:
Nggak, aku pas kebetulan mampir karena abis anterin teman di daerah sini juga.
—aku berbohong
Dia pun membalas:
Ya udah, nggak usah kesini karena kamu nanti kejauhan, dan jangan chat.
—your chat; seolah melarangku untuk bertindak lebih jauh
Aku pun menutup telepon dan melajukan motorku berbalik ke perumahan itu lagi. Seolah rasa penasaranku telah membutakanku dan tidak mendengar larangannya. Saat aku kembali ke area cluster perumahan itu, aku pun masih mencari-cari blok yang kumaksud. Tiba-tiba saja, satpam perumahan itu menghampiriku, dan bertanya:
Mbaknya cari blok apa? Kok saya lihat dari tadi putar-putar..
—tanya seorang satpam sembari berjalan menghampiri motorku
Aku terkejut dan segera turun dari motorku, kemudian kutunjukkan chat-ku dengan dia sebelumnya; yang mengatakan bahwa blok tersebut berada di sekitar area itu dan benar saja bahwa peta ponselku memang mengarah ke alamat tersebut. Kemudian, satpam tersebut membaca chat tersebut dan agaknya dia ‘ngeh’ bahwa aku kemungkinan salah alamat. Lahh!! Gimana sih? Kemudian, dengan sangat sabar satpam tersebut menyarankan aku berputar balik dan seharusnya aku memasuki perumahan yang kumaksud di area cluster yang sebelumnya. Akhirnya, berputar baliklah aku ke tempat sesuai dengan petunjuk satpam tadi. Tak berapa lama, kutemukan lah cluster yang dimaksud. Astaga, setting lokasi perumahan ini sungguh buruk.
Setelah mengatur napas (karena harus berputar-putar tidak tahu arah dan tujuan) dan berhasil menemukan alamat rumah dia yang dimaksud, aku pun menghentikan motorku tepat di depan halaman rumahnya sembari mengamati rumah itu dan memprediksi apakah ada kehidupan di dalamnya—karena saat aku sampai, rumah itu gelap gulita, tanpa ada cahaya lampu dari dalam rumah; hanya menyisakan lampu teras saja—lalu, aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas, dan mengetik sesuatu di chatroom-ku dengannya :
Ini?
—ketikku sambil ku share foto dimana aku berada saat itu
Tak ada jawaban dari chat itu. Lima menit, sepuluh menit, hingga menit ke duapuluh tujuh aku pun memutuskan untuk pulang karena jam di tanganku sudah menunjukkan pukul delapan lebih.
Saat aku tiba di rumah, sebuah DM (direct message) mampir ke akun Instagram-ku. Setelah aku check, ternyata tunangannya mengirimiku sebuah pesan panjang di chatroom IG milikku tersebut.
Mbak, ini maksudnya apa ya? Mbaknya mau saya laporin ke suaminya mbak?
—tulis cewek itu
Otomatis, aku kaget dong yaa? Helloww, aku cuma lewat depan rumah tunanganmu aja!! Tidak
mampir!! jeritku dalam hati. Nggak mampir aja di message kayak gitu, gimana kalo mampir yak? Hghh!! Anak kecil banget ah!! umpatku lagi. Lalu esok harinya, sesuatu yang tidak pernah kuduga sebelumnya—bahwa ia memang tega melakukan hal itu padaku.
Nomor WA-ku di block!! Astagaaa!!
Padahal, selama aku menjadi kekasihnya dulu, aku tidak pernah diperlakukan istimewa seperti itu!! God, ini keterlaluan!! Aku merasa wajahku memerah saat itu juga—aku merasa dipermalukan oleh manusia seperti itu; yang notabene-nya tidak sekelas denganku. Tapi, ya sudahlah, itu hak dia sebagai seseorang yang merasa dekat dan merasa sebagai seseorang yang memiliki predikat ‘calon istri’. HIH!!!
Pertengahan Maret 2023
Ketika kekasih yang sangat kusayangi memutus semua akses telekomunikasiku—akibat pengaruh si cewek yang tidak tahu diri; padahal hanya berstatus pacar—aku pun memutuskan untuk rehat sejenak dengan berusaha tidak memikirkannya untuk sementara waktu, meski aku tahu itu hanya sia-sia belaka. Aku tahu aku tidak bisa karena selama ini pun aku berusaha mencoba melakukannya berkali-kali namun hasilnya sama saja. Nihil.
Suatu ketika, aku dan suami bermaksud menjual motor karena suatu kebutuhan yang lumayan mendesak. Kemudian, aku memposting foto-foto motor itu di sebuah platform sosial media untuk mendatangkan pembeli. Sekitar beberapa menit, ponselku dibanjiri banyak chat dari mereka-mereka yang berminat membeli kuda besi tersebut. Suamiku pun memutuskan untuk memilih salah satu diantara mereka yang menawarkan harga tertinggi untuk memboyong kuda besi tersebut. Ponselku pun dijadikannya alat komunikasi antara mereka—antara penjual dan pembeli. Tak butuh waktu lama juga, hanya berselang beberapa jam saja, pembeli ini pun langsung mendatangi rumahku untuk membeli kuda besi milikku.
Mungkin jika aku boleh berkata, cinta memang tak kenal waktu dan tempat—karena ternyata chat si pembeli ini yang pada awalnya hanya menanyakan harga dan lokasi rumahku untuk mengambil barang tersebut kemudian mengirimiku chat secara pribadi. Kok bisa? Jawabannya sudah kutulis di awal kalimat paragraf ini, Temans; bahwa cinta tidak mengenal apapun itu bentuk sebuah suasana ataupun kondisi.
Saat cowok ini mengirimiku chat yang jauh dari kata ‘berniaga’ antara penjual dan pembeli, entah kenapa rasanya aku harus banget membalas chat dia dan bersikap manis—padahal biasanya aku tidak pernah bersikap manis pada cowok model manapun dan yang bagaimana pun; karena aku hanya bersikap manis pada satu orang cowok saja—dan aku menerima permintaan pertemanannya dengan tangan terbuka.
Dan, itulah awal mulanya aku mulai bisa melupakannya—setidaknya untuk sementara waktu seiring dengan berjalannya waktu. Namun, siapa yang bisa menerka kapan cinta itu akan pergi dan datang cinta yang lain sebagai ‘sang pengganti’? It never knows.
Tapi, apapun bentuknya itu, aku tetap tidak bisa melupakan dia yang sebelumnya telah mencabik-cabik hatiku dengan begitu mudah. Aku hanya butuh waktu, itu saja…
—unknown

