
Plan to HPL
HPL (Hari Perkiraan Lahir) dari kehamilanku yang keempat ini kemungkinan akan jatuh sekitar tanggal 9 Maret 2022. Aku entah bahagia atau tidak, yang jelas aku harus mensyukuri apa yang sudah dipercayakan Allah kepadaku dan suami. Kelahiran bayi adalah sebuah anugerah besar, yang tidak semua orang bisa mendapatkannya—terlepas dari apa dan bagaimana pun keadaan dari keluarga tersebut.

Aku pun tahu bahwasanya ada dari sebagian besar pasangan suami-istri di luar sana yang sungguh sangat menginginkan keturunan tapi belum juga mendapatkan kepercayaan itu dari Allah Swt. Tidak ada satu manusia pun yang mengetahui apa atau seperti apa rencana Allah Swt menitipkan manusia mungil ini di rahim setiap wanita yang akan dipercayakan-Nya menjadi calon Malaikat Pelindung dari manusia mungil tersebut.
Namun apapun alasannya, siap atau tidak, Allah Swt sudah pasti memiliki alasan dan rencana indah tersendiri mengapa ia memilihku untuk menjadi Malaikat Pelindung itu. Anak adalah anugerah terindah dari sebuah pasangan, maka sudah menjadi kewajiban kami untuk menjaganya dengan segenap jiwa dan raga yang ada. Insya Allah, rezeki akan datang dengan sendirinya jika aku berusaha dan berdoa setiap saat memohon pertolongan-Nya.

Jujur saja, aku bahkan sempat menangisi kehamilan ini beberapa bulan yang lalu disaat perekonomianku sedang surut, terpuruk, hingga aku bahkan tidak bisa berkutik atau melakukan apapun. Otakku bahkan tidak bisa dibuat memikirkan hal lain selain berniat mengakhiri hidup. Aku putus asa saat itu. Permasalahan datang silih berganti. Jangankan untuk berpikir mencari tambahan penghasilan, untuk makan dan kehidupan serta kebutuhan sehari-hari pun tidak ada.
Pernahkah kalian berada di posisiku ketika lembaran uang yang ada di tangan kalian—untuk satu hari—hanya seribu rupiah (Rp. 1,000.00) saja?
—My Mind
Itulah yang aku alami beberapa bulan terakhir kemarin—atau tepatnya selama setahun ke belakang. Mungkin terdengar mustahil atau lebay, ya itu hak orang lain untuk menilai, tapi itulah kenyataannya. Aku sampai harus rela bolos kerja; potong gaji (padahal itu adalah larangan di kantorku) hanya karena aku tidak ada biaya untuk transport. Sebenarnya itu adalah tekanan batin bagiku, tapi aku berusaha bersabar dan berpikir segalanya adalah cobaan bagi keluarga kecilku.
Karenanya, aku masih menganggap bahwa Allah Swt mungkin saja bermaksud memberiku rezeki melalui bayi ini. Mencoba mengujiku apakah aku bisa bertahan dalam situasi seperti ini—situasi yang mungkin jika orang lain yang mengalaminya takkan bisa sekuat dan setegar aku. Karena itu pula lah, aku bisa sampai di titik terendah ini dan masih berdiri tegak sebagai ‘aku’, meski aku telah kehilangan segala apapun yang seharusnya menjadi hakku di kantor.
Aku hanya bisa berharap pada kuasa Illahi agar selalu diberikan kesabaran dan keikhlasan sepenuhnya dalam menghadapi semua cobaan ini, tanpa mengharap apapun dari-Nya. Semoga saja rezeki yang berlimpah akan selalu menaungi bayiku—karena aku percaya bahwasanya setiap bayi yang akan terlahir ke dunia pasti akan membawa rezekinya masing-masing.

