
Pengendalian Diri
Aktivitas bermedia sosial itu terkadang bisa membuat beragam ekspresi dan seolah menguji kesabaran dan emosi diri masing-masing. Jika ada beberapa penulis yang terkadang kesal dengan para pembacanya, yaa itu resiko yang harus dihadapi oleh seorang penulis atau creator.
Terkadang membuat sebuah konten sosial itu harus dipikirkan secara matang; karena jika tidak, maka bisa saja kau akan berurusan dengan pihak berwajib. Seperti yang sudah banyak pemberitaan belakangan ini, beberapa dari content creator dipidanakan karena konten yang mereka ciptakan sendiri.
Kita tidak mungkin bisa mengendalikan pikiran orang lain (kecuali kalau kita memiliki kemampuan untuk ‘itu’), untuk memaksa mereka menyukai atau menghargai karya kita. Tidak. Karena, apa yang kita pikirkan untuk membuat sebuah karya yang sekiranya akan digemari orang lain tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tentunya mereka memiliki taraf dan kualitas tersendiri kapan sebuah karya akan dapat dinilai bagus ataukah buruk.

Susah?—iya! Lihat saja, sebuah mahakarya yang bagi sebagian besar masyarakat dinilai sempurna, toh juga masih ada saja cibiran bahkan hinaan di sana-sini dan tidak menutup kemungkinan kaum minoritas dari mereka yang mengatakan bahwa karya tersebut adalah plagiat. Kejam?—mungkin! Banyak sekali kemungkinan yang bisa diambil mengapa mereka melontarkan itu. Untuk itu, peran dari sebuah pengendalian diri inilah yang harus kita kuasai.
Tulisan ini aku tulis berdasarkan kisah pribadiku tatkala aku membuat sebuah konten; dimana aku membuatnya dengan segenap jiwa dan raga yang sekiranya dapat diterima oleh khalayak, namun apa yang akhirnya aku dapat?—it was really under expectation!
Aku merasa marah, kecewa, dan kesal pada saat itu. Jelas! Aku benar-benar ingin sangat diterima. Aku merasa aku belum bisa menerima kekalahanku. Tapi kemudian aku sadar bahwa siapa aku?—i’m nothing! Aku bukan siapa-siapa. Aku cuma anak kemarin sore yang katakan saja baru belajar menulis yang levelnya masih amatir! Bahkan seorang penulis kenamaan yang sudah memiliki beberapa karya pun masih juga menuai kecaman dan kritikan pedas.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku pun perlahan belajar tentang sebuah pengendalian diri. Memang tidak mudah menahan ego disaat kau sedang dalam keinginan kerasmu untuk mencapai sebuah kesuksesan. Tidak ada satu pun yang terjadi secara instan di dunia ini. Semua butuh proses. Dan, proses itulah yang merupakan sebuah tahap dimana kau diharuskan untuk menekan segala ego, ambisi, dan harapan tinggi tersebut seminimal mungkin; sekecil mungkin.
Sekali waktu aku pernah menjadi apa yang aku inginkan, meskipun tidak persis seperti yang aku harapkan—being an influencer! Seorang influencer amatir yang dituntut untuk selalu bisa mengerahkan seluruh kemampuan menulisku disana. Terus terang aku sungguh bahagia dengan ‘pekerjaan baru’-ku. Otomatis, aku pun melakukan itu dengan sebaik-baiknya kemampuan yang aku miliki. Dan, ya, akhirnya aku pun mendapatkan fee dari pekerjaan itu. Tidak bisa dibilang besar tapi cukup lah.
Kemudian, ketika aku menganggap pekerjaan itu sebagai awal batu loncatanku seketika itu juga aku mengalami syndrome macet ide, kekakuan atau yang sering dikenal dengan kebuntuan inspirasi dalam mencari topik tulisan baru. Saat itulah, endorse yang aku dapatkan pun berangsur berkurang, dan tak butuh waktu lama, hanya dalam hitungan minggu beberapa endorse yang biasanya menggunakan jasa tulisanku pun tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Maka aku pun berpikir, ‘oke ini salahku’.
Hingga saat ini pun tidak pernah ada lagi endorse—meski sesedikit apapun—yang datang padaku. Saat itulah, aku kembali memperbaiki diri dan me-review semua apa yang mungkin perlu ku benahi dari semua kesalahan demi kesalahan yang mungkin ku sengaja ataupun tidak.
Intinya, kau tidak perlu melakukan sebuah hal besar jika hal sekecil semut pun belum mampu kau lakukan. Yang terpenting adalah bagaimana kau selalu bisa memperbaiki kesalahanmu sesering mungkin.
— My Mind

