blogging,  menulis,  pribadi

The Difficulty Of Us

Satu keikhlasan yang aku berikan untuk cinta ini (entahlah) rasanya sulit untuk bisa ku nalar. Aku telah begitu banyak berkorban demi terus menjaga cinta ini agar terus senantiasa ada dan selalu ada untukku. Bukan harta benda, tapi segala apapun waktu, tenaga, dan satu-satunya me time milikku yang seharusnya bisa kugunakan untuk menyegarkan pikiran penatku.

Tapi, toh aku (masih) tidak peduli dengan keadaan diriku sendiri. Meski telah berkali-kali terluka oleh perbuatannya, aku tetap tak ingin berpaling. Bahkan, ketika aku telah memproklamirkan kata-kata bahwa dia sudah mati untukku, cinta ini malah semakin menyiksaku.

Me and You

Beberapa tahun yang lalu mungkin memang benar bahwa dia pergi meninggalkanku dalam keadaan hati yang sedang terluka. Tapi aku tahu dia sedikit pun tidak memedulikanku. Saat itu aku hanya bisa berpasrah diri menerima nasibku—bahwa aku memang benar-benar bukan untuknya.

Aku hanya tidak ingin menyerah begitu saja pada nasib. Setidaknya jika memang aku tidak bisa bersamanya, aku hanya meminta izin dia selalu ada untukku—di sisiku.

—My Mind

Seriously, sejak bertemu dengannya aku jadi sungguh-sungguh rajin beribadah dan meningkatkan keimananku. Selain, saat itu dia selalu mengingatkanku untuk tidak meninggalkan ibadahku. Namun, aku tetap meminta pada-Nya bahwa ‘jangan pisahkan aku dengannya‘.

Tak ada jalan cinta yang lurus-lurus saja; lempeng tanpa ada gangguan. Di jalan tol saja yang notabene-nya jalan bebas hambatan, toh tetap saja masih ada hambatan (semisal ketika cuaca buruk atau saat ada kecelakaan, dimana tak ada apapun yang bisa dilakukan selain menunggu). Pun, ketika jalinan cinta ini sudah nyaris tak ada harapan, aku masih tetap selalu menunggu.

Sulit. Mungkin satu-satunya kata yang bisa menggambarkan keadaan ini. Memang sulit jika sudah berurusan dengan yang namanya cinta yang rumit. Dan, aku takkan pernah mau untuk melepaskannya. Ketika dia membuka jalur chat-ku yang sempat dia block, aku sungguh sangat bersyukur. Tapi, ketika dia menolak permintaanku, aku masih tetap berusaha ikhlas—meski aku tahu sebisa mungkin aku berusaha mengabulkan apapun keinginannya tanpa sedikit pun ingin membuatnya kecewa.

Sampai kapan?—tentunya aku memiliki batas dimana aku harus mengambil sikap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Please, do not copy!!