
Sepenggal Kalimat
Catatan Hati untuk Seorang Kau…

Mungkin Tuhan sedang mengujiku. Mungkin juga Tuhan sedang mencoba memberikanmu ‘jalan lain’ agar kau memahami bagaimana cara menghargai perasaan seorang wanita yang begitu tulus mencintai. Tak ada wanita mana pun yang sanggup kehilangan cinta sejatinya. Cinta yang dengan susah payah dirajutnya hingga darah mengucur dari ujung jarinya karena tertusuk sembilu. Kau hanya manusia munafik yang takkan pernah bisa memahami apa itu perasaan; apa itu cinta. Bahkan, kau pun tak pernah merasa memilikiku sebagai kekasihmu. Ironis!
Kau hanya manusia berhati iblis yang dengan keji tega menyia-nyiakan dan membuang seseorang sepertiku yang hanya bisa mencintaimu dengan tulus tanpa ada rasa pamrih dan tanpa alasan. Satu-satunya yang masih bisa membuatku bertahan adalah besarnya rasa cinta dan perjalanan yang tidak pernah mudah. Namun, apapun yang telah kita ukir dan abadikan bersama tak lantas lekang dari pikiranku. Meski aku coba ingkari semua, ingatan itu bahkan semakin menghantuiku.
“Ciprut, kok rung turu?” (*) tanyamu malam itu ketika aku tak juga terlelap saat waktu menunjukkan pukul satu dini hari.
“Oh aku masih belom ngantuk Beb. Kamu sendiri ngapain belom bobok juga?” jawabku dengan sedikit merasa heran dengan panggilan ‘ciprut‘ yang ia ucapkan. Panggilan lucu yang baru saja ku dengar keluar dari mulutnya.
“Aku wis ngantuk iki. Ndang bubuk Beb, sesuk kerjo.” (**)
Biasanya aku tidak langsung tidur ketika ada yang memperingatkanku tentang jam tidurku yang tidak teratur. Tapi, entah kenapa saat O.D. yang mengucapkannya, saraf motorikku sontak melaksanakan perintah itu.
Sedikit pun aku tak pernah ingin atau pun berniat untuk menentangnya atau apapun yang membuatnya terluka. Sepenuh hati aku hanya ingin membuatnya tersenyum dan bahagia. Bagiku, kebahagiaannya dan keberadaannya di sisiku selalu adalah hadiah terindah untukku.
(*) “Ciprut, kok belum tidur?”
(**) “Aku sudah mengantuk ini. Cepat tidur, Beb, besok kerja.”

