
Kind of Pink and Grey
Semuanya sungguh tidak pernah ku duga sebelumnya. Setelah hatiku dengan sangat tega kau hancurkan dengan tak bersisa, kemudian kau lebih memilih dia untuk kau jadikan penggantiku dan akan segera menikahinya dalam waktu dekat. Kau tahu betapa hancur hatiku saat itu?
Ku pikir tak ada lagi alasan bagiku untuk bersama denganmu—tapi (kemudian), rencana Tuhan juga siapa yang tahu?

Aku memang masih mencintaimu, dan sampai kapan pun aku takkan pernah bisa rela melepasmu. Tapi, ada satu dan lain hal yang akhirnya membuatku harus meninggalkanmu—meski ada sedikit keraguan. Siap atau tidak, aku harus menikah saat itu juga.
Ketika aku terlanjur menikah dengan orang lain, kau pun datang lagi padaku meminta maaf dariku sembari berkata bahwa kau tidak jadi menikahinya karena suatu alasan yang tak ku mengerti. Sedalam-dalamnya aku mengumpat pada keadaan yang seperti ini. Meski aku tahu—jika kita terus bersama aku tak juga bisa bersama utuh denganmu—tapi di sisi lain, aku ingin kita tetap bersama walau tidak harus dalam sebuah ikatan pernikahan.
“Sometimes, it should be grey or pink, without any reason or anything.”
Tak harus selalu ada alasan untuk sebuah cinta, kan? Karena, cinta itu selalu datang di saat yang tidak tepat dan di saat yang ia mau saja, dan pada sebuah hati yang memang ingin di singgahi.
Karena cinta takkan pernah menuntut sebuah alasan.
Karena cinta itu juga lah yang pada akhirnya membawaku kembali bersamamu meski dalam keadaan yang sama sekali tidak utuh. Aku seolah menemukan kepingan emas di reruntuhan bangunan hatiku sendiri. Di reruntuhan pondasi cinta yang kita bangun dengan susah payah dulu. Meski tak bisa lagi membangunnya seperti sedia kala—setidaknya ada yang masih bisa diselamatkan.
Cinta itu sendiri…

