cinta,  dating,  feels,  hidup,  kisah,  Lifestyle,  Real Story,  Relationship

Sejak Kapan Cinta Mengenal Level?

Kisah Nyata (seorang narasumber bernama Dahlia) : “Bagaimana Bisa Cinta ini disebut Terlarang?”


Ini mungkin terjadi sekitar tahun 2015 saat aku mulai diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta (yang tidak bisa aku sebutkan namanya. Saat itu aku baru saja resign dari kantor lamaku yang berlokasi di jantung kota metropolitan. Sebenarnya aku tidak ingin resign dan ingin mengakhiri petualanganku dalam mencari pekerjaan yang terbaik dengan gaji yang besar. Tapi, karena satu dan lain hal yang kemudian menyebabkan aku terpaksa harus resign dan terpaksa harus mencari pekerjaan penggantinya—meski saat itu aku tengah hamil sekitar empat minggu.


Proses pencarian pekerjaan itu sendiri tidaklah mudah. Untungnya saat itu aku ditemani oleh seseorang yang senantiasa bersamaku disaat suka dan duka. Ia bernama Ervan. Pria ini sudah bersamaku sejak ketika aku masih bekerja di sebuah pabrik dulu—tapi Ervan berada di cabang kota Probolinggo, sedangkan aku disini—sampai saat ketika aku harus dipecat dari pabrik tersebut karena ulah mantan suamiku yang posesif. Jika harus kuingat bagaimana dulu aku selalu diteror oleh mantan suamiku yang superkejam dan selalu mengganggu setiap kali aku bekerja sampai selalu menuduhku berselingkuh dengan teman seprofesi, hingga menyebabkan seisi kantor tersebut—termasuk juga atasanku—merasa jengah dengan tingkah laku mantan suamiku itu dan akhirnya memilih untuk memecatku agar tidak lagi mengganggu aktivitas kantor. Saat itu, aku benar-benar sangat terpukul—yang kemudian memantapkan keputusanku untuk mengakhiri pernikahanku dengannya beberapa bulan setelahnya.


Oke, kembali ke topik awal. Sesi interview atau wawancara yang aku ikuti di perusahaan tersebut tidak bisa dibilang singkat—karena harus menunggu sekitar tiga jam lebih dari sekitar pukul sembilan pagi hingga menjelang makan siang. Tapi, Ervan tetap setia menemaniku hingga aku selesai mengikuti sesi wawancara awal tersebut.


Singkat cerita, aku kemudian akhirnya diterima bekerja di perusahaan tersebut dengan tiga bulan masa percobaan. Sementara Ervan masih tetap bekerja di tempat kerjaku yang lama, dan dia pun harus kembali ke kota asalnya, Probolinggo, untuk melanjutkan pekerjaannya disana.


OB GANTENG

Sekilas aku berpikir, ‘sejak kapan cinta mengenal level?—bukannya cinta itu buta ya?

Gambar hanya Ilustrasi

Selama sekitar dua tahun aku bekerja di kantor tersebut, aku tidak pernah merasakan apapun selain area pekerjaan yang sungguh ketat dengan aura peraturan-peraturan yang kerap membuatku insecure. Namun, menginjak tahun ketiga, saat ada salah satu staff yang sudah tiba waktunya untuk pensiun karena memang usia beliau sudah sangat senja, dan digantikan oleh seseorang yang aku taksir sih sekitar dua puluhan.


Awalnya aku tak merasakan apapun dengan kehadiran sosok cowok tersebutkarena selain saat itu aku sudah memiliki cowok idaman, aku pun juga tidak ada niat untuk menduakan kekasihku yang saat itu sedang berada di sebuah pulau yang jauh dari tempatku tinggal.


Sebut saja namanya Donny.


Semakin kesini, entah kenapa pesona Donny seolah berusaha mencuri perhatianku. Entah kenapa juga setiap kali aku melintas di dekatnya, ia selalu berusaha menggodaku. Aku bukan cewek patung yang diam tanpa kata, dan pura-pura tidak meresponsnya. Lambat laun aku pun mengikuti permainannya. Aku mulai sedikit demi sedikit meresponsnyasetelah sebelumnya, beberapa minggu lamanya, aku selalu mengacuhkannya. Dan, aku pun mulai tersadardi suatu ketika ia secara kebetulan piket menjaga kantor ketika ada beberapa staff yang bertugas lembur di hari libur (dan kebetulan aku yang tengah bekerja lembur hari itu)dalam hati aku berkata, ‘cowok ini ganteng juga‘.


Itulah awal mula aku mulai mengenalnya lebih jauh. Ternyata dia sosok lelaki yang hangat dan cukup memberikan perhatian pada cewek yang dikenalnya dengan dekatmeski sebenarnya dia adalah sosok yang cuek dan dingin. Tapi, yang utama adalah ternyata rumah tempatnya tinggal tidak seberapa jauh dari rumahku, hanya beberapa ratus meter saja. Kemudian, entah kenapa, timbul pikiran nakal di kepalaku. Aku jadi ingin selalu bersamanya di setiap aku berangkat dan pulang kerja.


Aku tahu bahwa tak seharusnya aku bersikap seperti ini, karena aku telah memiliki kekasih. Tapi, perasaan ini entah mengapa semakin hari semakin kuat padanya. Terlebih saat ia membuat sebuah status di smartphone blackberry-nya kala itu : “Aku akan terus berusaha mendapatkan kamu.”


Sebenarnya aku sendiri tidak tahu status itu ditujukan untuk siapaatau apa. Tapi, dia memintaku untuk menambahkannya sebagai teman di daftar kontak ponselnya. Kemudian, pada malam harinya saat aku tengah bersantai di dalam kamar, ia mengirimiku chat secara personal.

“Kamu kok nggak pernah senyum, sih?”

Aku senyum-senyum sendiri membaca chat yang dikirim Donny malam itu. Lantas tak urung, membuatku mengingat-ingat juga, kapan aku judesin dia yaa? Atau, apa aku emang nggak pernah senyum sama sekali?—senyum ke dia atau ke orang lain? Perasaan, akhir-akhir belakangan, setiap kali ketemu dia aku selalu senyum deh.


Lalu, aku pun menggerakkan jari-jariku diatas tuts keyboard berancang-ancang untuk membalas chat-nya.

“Masa sih? Perasaan kalo aku ketemu kamu, aku selalu senyum deh. Mungkin kamunya aja yang cuek.”

“Nggak.”

Jawabannya yang singkat tersebut, mendorongku untuk bertanya lebih lanjut tentang pribadinya.

“Emangnya nggak ada yang marah kalo aku chat kamu gini?”

“Aku belum punya pacar.”

Saat membaca balasan chat itu, ada sebuah perasaan lega yang menguasai hatiku. Artinya, aku masih ada kesempatan untuk mendekatinya.

“Mmm… besok kamu ada kerjaan nggak di kantor?” tanyaku sembari berharap dia bisa merespons chatku tepat seperti apa yang ku harapkan. Karena, mengingat pekerjaan dia di kantor adalah sebagai staff operasional yang harus bekerja tanpa kenal waktu.

“Kebetulan nggak. Kenapa?”

“Aku boleh ikut kamu nggak pulang kantor besok? Aku nggak ada yang jemput.”

“Maksudnya pulang bareng aku?”

“Iya.”

“Ok gapapa. Tapi, jangan naik di depan kantor. Tunggu aja di depan warung di dekat perempatan jalan.”

Demi membaca chat itu aku sungguh-sungguh bahagia. Rasanya aku seolah tidak sabar menantikan jam pulang kantor esok hari.


Keesokan Harinya….

Tepat pukul setengah enam aku segera menekan tombol absen pulang. Kemudian, aku bergegas menuju ke lokasi yang dimaksud oleh Donny dan kulihat ke sekeliling area warung itu belum ada tanda-tanda kehadirannya.

“Kamu sudah sampai? Tunggu sebentar yaa, aku masih beresin ruangan manajer.

Sesegera mungkin aku membalas chat-nya. “Oke.”

Sambil mengisi waktu menunggu Donny, aku mampir ke warung untuk membeli se-plastik es kopi Vanilla Latte kesukaanku. Aku meminum es kopi Vanilla Latte-ku seteguk demi seteguk dengan hati berdebar-debar. Kenapa jadi gini banget sih aku? Padahal aku nggak sekali duakali diboncengin cowok tapi rasanya biasa aja.

Sepuluh menit kemudian, nada notifikasi di ponselku berbunyi pertanda ada pesan baru yang masuk. Dari Donny.

“Aku udah sampe, kamu dimana?”

Tanpa membalas chat tersebut, aku langsung mendatangi Donny yang berada tak jauh dari tempatku membeli es kopi tadi.

“Hai,” sapaku setibanya di sisi Donny.

“Kita cari makan dulu yaa, aku lapar,” ajak Donny seraya memakai helm-nya dan melajukan motornya menembus kegelapan malam.

Aku hanya mengangguk tanpa bisa berkata-kata. Padahal biasanya, aku selalu cerewet ketika diboncengi cowok, siapapun itu. Tapi kali ini, suaraku seolah tercekat di tenggorokan.

Udara dingin malam itu sangat pekat seolah menggigit kulitku. Tanpa sadar, aku melingkarkan tanganku di pinggang Donny dan meletakkan kepalaku di bahunya. Begitu hangat, aku pun memejamkan mataku. Kurasakan tak ada penolakan darinya, dan ia pun sejenak melihat ke bawahke arah tanganku yang melingkar di pinggangnya. Aku tahu, namun aku semakin merekatkan dekapanku.

Allah, seperti ini rasanya jatuh cinta dengan orang yang paling diinginkan dalam hidup? Indah banget yaa? 🙂

“Emang kamu mau sama aku?” tanya Donny dalam chat malam itu yang dikirimkannya padaku, beberapa jam setelah ia mengantarku pulang. “Aku cuma office boy di kantor.”

Dahiku mengernyit membaca chat-nya, lalu segera kubalas. “Emang kalau kamu office boy kenapa?”

“Kita beda level. Kamu staff, kan? Gaji kamu pasti lebih tinggi.”

“Aku nggak peduli, kok. Nggak tau kenapa, aku sekarang udah sayang sama kamu.”

“Ya udah kalau gitu. Aku juga sayang sama kamu.”

Membaca chat itu hatiku seketika berdebar-debar. Syukurlah kalau perasaan ini disambutnya dengan baik. Lalu, aku membalas chat-nya lagi. “Sejak kapan cinta mengenal level?”

Donny kemudian membalas chat-ku dengan emoticon senyuman. Entah kenapa aku sungguh bahagia malam itu. Secara tidak langsung aku sudah memiliki hatinyameski di saat yang bersamaan aku memiliki hati yang lain juga. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menolak perasaan yang ditawarkan padaku oleh seorang seperti Donny. Aku juga tidak tahu ini cinta terlarang atau tidak, yang jelas, aku hanya ingin bersamanya.

Aku mencintainya—yang entah sampai kapan. Pun, aku tidak tahu sampai kapan cinta ini akan bertahan. Aku hanya sebisa mungkin mempertahankannya sampai aku tak lagi mampu bertahan.

MIND

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Please, do not copy!!