
UMK Surabaya 2014
Belakangan aku miris juga melihat demo buruh di sepanjang perjalanan jantung kota Surabaya. Tidak hanya sehari atau dua hari, tapi berhari-hari. Bukan karena apa, sih, tapi apa yang mereka lakukan itu secara tidak langsung telah merugikan banyak pihak. Dan, mungkin juga merugikan diri mereka sendiri.
Memang benar adanya bahwa mereka melakukan aksi itu jelas ada tujuannya, dan mereka harus memperjuangkannya demi kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Tapi, menuntut kenaikan UMK tidak semudah yang mereka bayangkan. Ada banyak aspek yang harus dipikirkan dibanding hanya sekedar membubuhkan tandatangan tanda setuju.
Bayangkan saja, di tahun 2013, UMK Surabaya sudah mencapai 1,7 dan mungkin tahun 2014 akan menjadi 2,2! Sungguh angka yang cukup fantastis, menurutku. Di satu sisi, angka ini mungkin akan menguntungkan bagi para buruh, tapi di sisi lain?
Sebagai contoh investor asing? Mana ada investor asing yang bersedia menggaji buruh – yang notabene-nya berjumlah ribuan di perusahaannya – sebesar itu? Sementara di negara lain, di Vietnam misalnya, upah buruh jauh lebih murah dibanding di Indonesia. Lalu, apa yang ada dibenak mereka para investor? Besar kemungkinan mereka akan hengkang dari Indonesia. Itu logis. Dan, apa yang terjadi jika semua investor itu memiliki pemikiran yang sama?
Jika menurut apa yang aku baca di berita harian pagi beberapa waktu lalu, banyak dari buruh itu yang kehilangan pekerjaannya dikarenakan mereka menuntut kenaikan upah yang tidak wajar, yang melebihi upah yang seharusnya. Aku tidak tahu, ini jalan yang terbaik atau bukan, tapi yang jelas untuk sementara ‘ya’. Karena, kenaikan UMK tidak seharusnya terjadi setiap tahun.
Walikota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini, berpendapat bahwa kenaikan UMK dapat dihindari dengan mengurangi waktu operasional kerja. Artinya, para buruh tidak harus bekerja 48 jam per minggu. Dengan demikian, kenaikan UMK bisa ditekan.
Tapi, memang, selalu ada yang harus dikorbankan ketika seseorang memilih untuk mempertahankan sesuatu yang lebih penting. Hanya akal sehat yang mampu menerima sebuah perubahan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®


4 Komentar
Titis Ayuningsih
DKI aja sudah dikasih 2,4 masih kurang mbak Dhanis, padahal perekonomian di Indonesia masih "goyang" yah belum stabil hehehe.
SOTYASARI DHANISWORO
Iya mbaakk, disini juga sama.., tapi DKI harusnya lebih tinggi daripada daerah lain yaa, karena kan ibukota.
Tapi semoga aja sih perekonomian Indonesia semakin membaik. Masyarakat cuman bisa berharap mbaakk..
Gandi
Waahh rajin posting. Tmben post tentang isu ekonomi sosial?? Mau jadi caleg ya mbak Dhanis?? 😀
SOTYASARI DHANISWORO
Wkwk, yaa sekali-sekali laahh…